Dinamika Kelompok
Sebagai
makhluk sosial manusia tidak pernah bisa hidup sendirian. Disadari atau tidak,
manusia merupakan bagian dari sebuah kelompok. Dalam kehidupan sehari-hari,
misalnya manusia paling tidak merupakan bagian integral dari sebuah keluarga. Namun,
tidak jarang pula manusia menjadi bagian dari beberapa kelompok berbeda pada
waktu bersamaan. Di samping menjadi anggota keluarga, seseorang juga menjadi
anggota kelompok lain, seperti remaja masjid, ikatan pelajar (osis), kelompok
pencinta buku, kelompok kesenian, komite sekolah, dan kelompok-kelompok
lainnya. Walhasil, menjadi bagian dari kelompok merupakan karakteristik manusia
yang bersifat alamiah. Lebih-lebih bagi masyarakat Timur, seperti Indonesia
yang cenderung kolektif, menjadi bagian dari kelompok dianggap jauh lebih
penting dibandingkan menjadi bagian dari diri sendiri. Oleh karena itu, kita
perlu memahami dinamika kelompok untuk memahami pengaruhnya terhadap kehidupan
manusia.
Orlando Behling berpendapat mengatakan bahwa kelompok dengan
segala dinamikanya bisa berpengaruh baik terhadap perilaku individu maupun perilaku
organisasi secara keseluruhan, bahkan terhadap masyarakat sekalipun.
Cherrington, mengatakan ada tiga alasan mengapa dinamika
kelompok perlu dipelajari. Pertama,
kelompok memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap perilaku individu.
Nilai-nilai personal, sikap, dan perilaku seseorang dalam banyak hal
dipengaruhi oleh interaksi seseorang dengan anggota kelompok lainnya. Demikian
juga seseorang cenderung menyandarkan diri pada kelompok agar dia bisa belajar
memahami dirinya – who I am.
Kedua, kelompok juga memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap
kelompok-kelompok lain dan terhadap organisasi. Sebagian besar
pekerjaan-pekerjaan organisasi sesungguhnya dilakukan oleh kelompok, demikian
juga keberhasilan sebuah organisasi ditentukan oleh efektivitas kelompoknya. Dalam
hal ini, tindakan kolektif yang dilakukan individu-individu di dalam kelompok
jauh lebih efektif dibandingkan dengan tindakan individu-individu yang
dilakukan secara perseorangan.
Ketiga, dengan memahami dinamika
kelompok bisa membantu kita memahami perilakunya. Setiap kelompok, layaknya
sebuah keluarga, juga memiliki kekhasan yang berbeda dengan kelompok lain. Perilaku-perilaku
mereka hanya bisa dipahami jika kita memahami proses yang terjadi di dalam
kelompok tersebut. Sebagai contoh, anggota-anggota kelompok pada umumnya hanya
akan menjalankan tugasnya berdasarkan peran dan norma kelompok. Dengan
demikian, memahami dinamika kelompok sangat penting untuk menganalisis
interaksi antarmanusia di dalam kelompok dan untuk mendiagnosis
persoalan-persoalan yang mereka hadapi.
Pengertian Kelompok
Kelompok didefinisikan sebagai dua orang atau lebih yang melakukan
interaksi secara langsung dan merasa saling bergantung, dalam rangka untuk
mencapai tujuan bersama. Berdasarkan pengertian ini, sebuah kelompok terdiri
dari tiga komponen utama, yaitu dua orang atau lebih, melakukan interaksi dan
saling bergantung, dan paling tidak ada satu tujuan yang hendak dicapai. Untuk
memberi gambaran tentang esensi sebuah kelompok, perhatikan contoh berikut ini.
Katakanlah ada sekumpulan orang yang menggunakan satu mesin foto kopi secara
bersama-sama. Menurut definisi di atas, sekumpulan orang tersebut belum bisa
disebut sebagai kelompok karena di antara mereka tidak saling bergantung meski
mereka saling berinteraksi. Adanya unsur saling bergantung ini sesungguhnya
menunjukkan bahwa anggota-anggota kelompok merasa saling memiliki sehingga
mereka juga merasa bahwa di antara mereka merupakan satu kesatuan yang tidak
terpisahkan (single unit entity). Perasaan seperti ini muncul karena
para anggota kelompok umumnya membentuk mental bersama. Oleh Hofstede
pembentukan mental bersama ini disebut “collective
mental programming”[1]
yang tujuannya untuk menandai bahwa mereka memiliki keyakinan, identitas, dan
sikap yang sama yang kesemuanya itu bersumber pada norma kelompok (group norm) yang mereka bangun bersama.
Penjelasan di atas sejalan dengan pengertian
kelompok yang yang dikemukakan
oleh D. Horton Smith sebagaimana dikutip oleh Kreitner and
Kinicki mengatakan bahwa kelompok adalah dua orang atau lebih yang saling
berinteraksi secara bebas dan saling berbagi norma dan tujuan bersama serta
memiliki identitas diri. Definisi kedua ini menegaskan bahwa ketika dua orang
atau lebih membangun suatu ikatan sosial (social
entity) sehingga mereka bisa saling
berinteraksi dan di antara mereka terjadi saling kebergantungan maka saat
itulah mulai terbentuk sebuah kelompok. Namun, hanya saling berinteraksi dan
saling bergantung belum cukup untuk mengatakan dua orang atau lebih sebagai
kelompok jika di antara mereka tidak memiliki norma kelompok, tujuan bersama,
dan identitas diri. Oleh karena itu, secara lengkap unsur-unsur pembentuk
kelompok adalah:
1. sekumpulan
orang (minimal dua orang);
2. saling berinteraksi
dan saling bergantung;
3. memiliki
norma kelompok;
4. memiliki
tujuan bersama;
5. memiliki
identitas diri (collective identity).
Tipe Kelompok
Seperti telah
dijelaskan pada uraian sebelumnya, kelompok pada dasarnya adalah sekumpulan
orang yang memiliki karakteristik tertentu. Dalam konteks organisasi, sebuah
kelompok kadang-kadang sengaja dibentuk oleh otoritas pengelola organisasi atau
otomatis terbentuk karena aturan-aturan yang berlaku di dalam organisasi.
Kelompok seperti ini disebut sebagai kelompok formal (formal group). Di samping
itu, sebuah kelompok kadang-kadang dibentuk bukan karena dorongan pihak
manajemen atau mengikuti aturan formal organisasi, tetapi berdasarkan inisiatif
para karyawan sesuai dengan kepentingan mereka. Oleh karena dibentuk di luar
alur formal organisasi maka kelompok seperti ini disebut kelompok informal (informal group). Kedua tipe kelompok ini dan derivasi masing-masing tipe.
kelompok dibedakan menjadi kelompok formal dan informal. Maksud dari kelompok
formal adalah kelompok yang sengaja dibentuk oleh organisasi, baik melalui
aturan yang dibuat oleh pengelola organisasi maupun karena hierarki organisasi,
sebagai bagian untuk membantu organisasi mencapai tujuan-tujuannya. Hal ini
bisa diartikan bahwa eksistensi kelompok formal akan berjalan seiring dengan
eksistensi organisasi. Oleh karenanya secara formal, kelompok bisa dibedakan
menjadi dua tipe, yaitu Kelompok Komando (Command
Group) dan Kelompok Tugas (Task Group).
Kelompok yang dibentuk mengikuti alur hierarki organisasi disebut command group. Dengan demikian, anggota-anggota command group terdiri
dari supersivor dan anak buahnya yang secara hierarkis melaporkan semua
aktivitasnya kepada supervisor sebagai atasan. Departemen SDM yang terdiri dari
Kepala Departemen dan anak buahnya adalah salah satu contoh command group.
Tipe kedua adalah Kelompok Tugas (Task group).
Sesuai dengan namanya kelompok ini sengaja dibentuk secara formal bertujuan
untuk mengerjakan tugas-tugas tertentu di mana anggota-anggotanya terdiri dari
orang-orang yang berasal dari departemen berbeda.
Kelompok informal adalah sebuah kelompok yang
dibentuk atas inisiatif karyawan, bukan atas gagasan formal organisasi. Alasan
dibentuknya kelompok informal karena di antara mereka memiliki perhatian yang
sama atau kepentingan yang sama di mana kepentingan tersebut biasanya tidak
tertampung di dalam struktur formal organisasi. Dua tipe kelompok yang bisa
dikategorikan sebagai kelompok informal adalah Kelompok Pertemanan (Friendship Group) dan Kelompok Kepentingan (Interest Group).
Individu-individu yang berasal dari departemen berbeda boleh jadi memiliki
perhatian yang sama terhadap kehidupan sosial mereka. Orang-orang yang memiliki
keyakinan agama yang sama, menganut politik yang sama atau berasal dari lulusan
perguruan tinggi yang sama boleh jadi memiliki perasaan sosial yang sama
sehingga tidak jarang di antara mereka membentuk kelompok yang disebut friendship group. Kelompok informal yang dibentuk oleh orang-orang dari
departemen berbeda atau bahkan dari organisasi berbeda, tetapi memiliki
kepentingan yang sama, misalnya untuk menyelesaikan persoalan polusi udara,
untuk memprotes kenaikan BBM atau untuk membahas kenakalan remaja bisa disebut
sebagai Kelompok Kepentingan (interest
group). Keanggotaan interest group tentunya bersifat sukarela.
Meski kelompok informal dibentuk tidak atas
dorongan resmi pihak manajemen, tetapi keberadaannya merupakan bagian penting
bagi kehidupan formal organisasi. Sebagaimana dijelaskan pada Modul 2 tentang
sikap kerja, seseorang bekerja bukan semata-mata demi memperoleh penghasilan,
tetapi ada alasan-alasan di luar itu, khususnya untuk memenuhi kebutuhan sosial
mereka. Kadang-kadang kebutuhan sosial tersebut hanya bisa dipenuhi jika ia
bergabung dengan kelompok informal. Oleh karena itu, terlepas bahwa kelompok
informal berada di luar jalur resmi organisasi, pihak manajemen perlu memberi
perhatian yang seimbang karena bukan tidak mungkin tujuan-tujuan organisasi
bisa lebih mudah dicapai melalui pintu masuk jalur informal tersebut.
Alasan Seseorang bergabung dengan
Kelompok
Beberapa alasan
mengapa seseorang mau bergabung dengan kelompok adalah sebagai berikut.
1. Mempermudah
Mencapai Tujuan
2. Sekadar
Berafiliasi
3. Memperoleh
Dukungan Emosional
4. Memperoleh Status
Sosial
5. Alasan Keamanan
6. Faktor Kedekatan
Hubungan Antara Perilaku Kelompok
dengan Kinerja dan Kepuasan Kerja
Sebagaimana kita
ketahui, kelompok merupakan subsistem dari sistem yang lebih besar.
Sederhananya, kelompok merupakan bagian integral dari sebuah organisasi
sehingga dalam batas-batas tertentu perilaku dan kinerja kelompok tidak hanya
ditentukan oleh kelompoknya itu sendiri melainkan dipengaruhi juga oleh
faktor-faktor lain yang melingkupi kelompok tersebut. Sebagai contoh,
keberadaan sebuah kelompok dan bagaimana kinerja kelompok tersebut tentunya
tidak bisa lepas dari strategi organisasi dan faktor-faktor lain yang berada di
luar kelompok, tetapi pengaruhnya cukup signifikan terhadap kelompok, seperti
aturan-aturan organisasi, budaya organisasi, dan struktur organisasi. Secara umum,
bisa dikatakan bahwa kinerja kelompok ditentukan oleh faktor eksternal dan
faktor internal. Untuk memperoleh gambaran secara lengkap tentang faktor-faktor
yang mempengaruhi perilaku kelompok dan kinerjanya, kita dapat merujuk pada
model perilaku kelompok yang dibangun oleh Robbins s.
Model Perilaku Kelompok
kinerja dan kepuasan
kerja kelompok dipengaruhi oleh berbagai macam faktor. Pertama, faktor eksternal, yaitu semua faktor yang berasal dari
luar kelompok, khususnya yang bersumber pada organisasi, namun memberi pengaruh
kuat terhadap kehidupan kelompok. Termasuk dalam faktor eksternal adalah
strategi organisasi; struktur organisasi; aturan formal organisasi; sumber daya
organisasi; sistem rekrutmen karyawan; evaluasi kinerja dan sistem imbalan;
budaya organisasi dan lingkungan tempat kerja. Bagi sebuah kelompok, pengaruh
faktor eksternal merupakan konsekuensi logis yang tidak bisa dihindarkan karena
kelompok itu sendiri merupakan bagian integral dari organisasi. Faktor eksternal
akan memberi dua kemungkinan pengaruh, yaitu memberi peluang bagi kelompok
untuk berkinerja lebih baik atau sebaliknya membatasi kelompok. Sebagai contoh,
budaya organisasi sering dianggap sebagai tali pengingat antarkaryawan dalam
organisasi tanpa melihat kedudukan karyawan atau dari bagian mana mereka
berasal. Ujud nyata dari budaya organisasi adalah nilai-nilai organisasi yang
menjadi pedoman untuk bertindak dan berperilaku. Meski demikian tidak jarang
sebuah kelompok memiliki budaya kerja tersendiri yang tidak sama, kalau tidak
dikatakan bertolak belakang dengan budaya organisasinya. Jika terjadi hal
demikian maka bisa dipastikan bahwa budaya organisasi menjadi faktor pengganggu
bagi kinerja kelompok.
Selain faktor eksternal, kinerja dan kepuasan
kerja kelompok dipengaruhi juga oleh faktor internal, yaitu semua faktor yang
bersumber dari dalam kelompok. Faktor-faktor tersebut adalah sumber daya
kelompok; struktur kelompok, proses aktivitas yang berjalan di dalam kelompok
dan tugas yang diemban kelompok.
Dampak Kelompok terhadap Perilaku
Individu
Pengaruh kelompok
terhadap perilaku dan kinerja individu bisa terjadi dalam tiga bentuk, yaitu social facilitation effect, social loafting,
dan deindividuation.
1. Social Facilitation
Bidang studi psikologi sosial sejak mula telah
mendeteksi bahwa seseorang akan memiliki kinerja lebih baik jika ia menjadi
bagian dari kelompok daripada jika bekerja sendirian. Sebagai contoh, pelari
jarak pendek tercepat di dunia Usai Bolt dari Jamaica dengan catatan waktu
kurang dari 9,72 detik, boleh jadi dia tidak akan bisa mencapainya jika dalam
berlari tidak ada lawan tanding. Dengan lawan tanding seolah-olah Bolt
mempunyai energi tambahan untuk berlari lebih cepat. Demikian juga dalam
kehidupan kelompok. Ketika seseorang melakukan pekerjaan yang tidak terlalu
sulit yang sudah dipahami dan sebelumnya telah dikuasai dengan baik, seperti
melakukan penjumlahan, kinerjanya akan lebih baik jika dalam melakukan
pekerjaan tersebut didampingi rekan kerja walaupun keberadaan rekan kerja
tersebut tidak memberi bantuan apa-apa. Proses bertambah baiknya kinerja
seperti ini disebut social facilitation effect – efek dukungan sosial.
Meski demikian kehadiran orang lain selama seseorang melakukan aktivitas, tidak
selamanya berdampak positif seperti dicontohkan di atas, tetapi juga bisa
berdampak negatif. Jika aktivitas yang dilakukan seseorang sebelumnya telah
dikuasai dengan baik maka kehadiran orang lain akan berdampak positif.
Penyebabnya karena kehadiran mereka akan memberi motivasi untuk bekerja lebih
baik agar dirinya tampak sebagai pekerja yang baik. Proses ini disebut evaluation
apprehension. Sebaliknya, apabila aktivitas yang dilakukan seseorang masih
relatif baru seperti tugas-tugas yang belum dikuasai dengan baik maka kehadiran
orang lain justru akan menurunkan kinerja orang tersebut. Proses ini disebut social
inhibition effect. Berdasarkan uraian dan contoh-contoh ini bisa disimpulkan
bahwa manakala seseorang sedang melakukan tugas baru yang sangat kompleks dan
belum dikuasai sepenuhnya sebaiknya dilakukan tanpa kehadiran orang lain. Sebaliknya,
apabila ia melakukan pekerjaan yang sudah sangat dikuasainya, kehadiran orang
lain justru memfasilitasinya untuk bekerja lebih baik.
2. Social Loafting
Selain berdampak positif seperti dijelaskan
pada social facilitation effect,
eksistensi kelompok terhadap kinerja dan perilaku individual juga bisa
berdampak negatif. Seseorang yang bekerja sebagai bagian dari kelompok
kadang-kadang enggan untuk mengeluarkan semua kemampuan atau kapabilitas yang
dimilikinya untuk membantu menyelesaikan pekerjaan kelompok. Keengganan seperti
ini disebut social loafting. Jadi, bisa dikatakan bahwa social loafting merupakan kebalikan dari
social facilitation effect. Banyak alasan yang menyebabkan
terjadinya social loafting, di antaranya merasa sudah ada
orang lain yang mengerjakannya, merasa kontribusinya tidak akan banyak
berpengaruh terhadap kinerja kelompok, merasa kontribusinya tidak akan
dihargai, merasa kemerdekaan individunya hilang atau merasa tidak akan dihukum
jika kinerjanya buruk. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa terjadinya social loafting bukan karena menurunnya kemampuan individu, tetapi lebih
disebabkan karena menurunnya motivasi kerja individu.
3. Deindividuation
Implikasi lain dari eksistensi kelompok
terhadap perilaku individu adalah terjadinya deindividuation. Maksud dari deindividuation
adalah proses hilangnya jati diri atau kepribadian seseorang ketika dirinya
bergabung dengan sebuah kelompok. Ketika seseorang kehilangan jati dirinya
karena bergabung dengan kelompok, ia bisa melakukan tindakan-tindakan yang
tidak mungkin dilakukannya jika yang bersangkutan sendirian. Kasus seperti ini
akhir-akhir ini banyak terjadi di Indonesia. Beberapa pertandingan sepak bola
di tanah air, misalnya banyak diwarnai kerusuhan yang dilakukan oleh para
supporter khususnya ketika klub yang dijagokannya mengalami kekalahan.
Supporter yang melakukan kerusuhan tersebut boleh jadi secara individual
mempunyai kepribadian yang baik, namun ketika bergabung dengan kelompok
terjadilah apa yang disebut collective
mind (cara berpikir kolektif) yang
bersifat tidak rasional. Penyebab tindakan tidak rasional semacam ini
disebabkan karena (a) secara individual tidak orang yang tahu siapa dirinya dan
dia menjadi bukan siapa-siapa karena telah kehilangan tanggung jawab
pribadinya, (b) pengaruh buruk kelompok menyebabkan seseorang bisa bertindak
secara berbeda dan berupaya melakukan tindakan seperti yang dilakukan anggota
kelompok lain, serta (c) dalam sebuah kelompok, seseorang biasanya tersugesti
untuk melakukan tindakan seperti yang dilakukan orang lain ketika dirinya
merasa mendapat tekanan dari anggota kelompok lainnya.
Meski deindividuation
pada umumnya bisa menciptakan perilaku yang tidak dikehendaki, sesungguhnya deindividuation juga bisa menciptakan perilaku
yang positif. Banyak aktivitas yang bertujuan mulia, tetapi sering kali tidak
bisa dilakukan sendirian. Aktivitas seperti ini justru bisa dilakukan hanya
jika seseorang menjadi bagian dari sebuah kelompok. Lembaga-lembaga sosial,
lembaga keagamaan atau sekolah sering kali bisa mengubah perilaku seseorang
yang kehilangan jati dirinya untuk bersama-sama berpartisipasi dalam
meningkatkan kehidupan mereka dan anggota masyarakat yang lain. Artinya, meski deindividuation sering kali bersifat
destruktif, tetapi tidak selamanya demikian.
No comments:
Post a Comment