Friday, April 26, 2013


Dinamika Kelompok

Sebagai makhluk sosial manusia tidak pernah bisa hidup sendirian. Disadari atau tidak, manusia merupakan bagian dari sebuah kelompok. Dalam kehidupan sehari-hari, misalnya manusia paling tidak merupakan bagian integral dari sebuah keluarga. Namun, tidak jarang pula manusia menjadi bagian dari beberapa kelompok berbeda pada waktu bersamaan. Di samping menjadi anggota keluarga, seseorang juga menjadi anggota kelompok lain, seperti remaja masjid, ikatan pelajar (osis), kelompok pencinta buku, kelompok kesenian, komite sekolah, dan kelompok-kelompok lainnya. Walhasil, menjadi bagian dari kelompok merupakan karakteristik manusia yang bersifat alamiah. Lebih-lebih bagi masyarakat Timur, seperti Indonesia yang cenderung kolektif, menjadi bagian dari kelompok dianggap jauh lebih penting dibandingkan menjadi bagian dari diri sendiri. Oleh karena itu, kita perlu memahami dinamika kelompok untuk memahami pengaruhnya terhadap kehidupan manusia.
<!...more>

Orlando Behling berpendapat mengatakan bahwa kelompok dengan segala dinamikanya bisa berpengaruh baik terhadap perilaku individu maupun perilaku organisasi secara keseluruhan, bahkan terhadap masyarakat sekalipun.
Cherrington, mengatakan ada tiga alasan mengapa dinamika kelompok perlu dipelajari. Pertama, kelompok memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap perilaku individu. Nilai-nilai personal, sikap, dan perilaku seseorang dalam banyak hal dipengaruhi oleh interaksi seseorang dengan anggota kelompok lainnya. Demikian juga seseorang cenderung menyandarkan diri pada kelompok agar dia bisa belajar memahami dirinya – who I am.
Kedua, kelompok juga memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap kelompok-kelompok lain dan terhadap organisasi. Sebagian besar pekerjaan-pekerjaan organisasi sesungguhnya dilakukan oleh kelompok, demikian juga keberhasilan sebuah organisasi ditentukan oleh efektivitas kelompoknya. Dalam hal ini, tindakan kolektif yang dilakukan individu-individu di dalam kelompok jauh lebih efektif dibandingkan dengan tindakan individu-individu yang dilakukan secara perseorangan.
Ketiga, dengan memahami dinamika kelompok bisa membantu kita memahami perilakunya. Setiap kelompok, layaknya sebuah keluarga, juga memiliki kekhasan yang berbeda dengan kelompok lain. Perilaku-perilaku mereka hanya bisa dipahami jika kita memahami proses yang terjadi di dalam kelompok tersebut. Sebagai contoh, anggota-anggota kelompok pada umumnya hanya akan menjalankan tugasnya berdasarkan peran dan norma kelompok. Dengan demikian, memahami dinamika kelompok sangat penting untuk menganalisis interaksi antarmanusia di dalam kelompok dan untuk mendiagnosis persoalan-persoalan yang mereka hadapi.

Pengertian Kelompok
Kelompok didefinisikan sebagai dua orang atau lebih yang melakukan interaksi secara langsung dan merasa saling bergantung, dalam rangka untuk mencapai tujuan bersama. Berdasarkan pengertian ini, sebuah kelompok terdiri dari tiga komponen utama, yaitu dua orang atau lebih, melakukan interaksi dan saling bergantung, dan paling tidak ada satu tujuan yang hendak dicapai. Untuk memberi gambaran tentang esensi sebuah kelompok, perhatikan contoh berikut ini. Katakanlah ada sekumpulan orang yang menggunakan satu mesin foto kopi secara bersama-sama. Menurut definisi di atas, sekumpulan orang tersebut belum bisa disebut sebagai kelompok karena di antara mereka tidak saling bergantung meski mereka saling berinteraksi. Adanya unsur saling bergantung ini sesungguhnya menunjukkan bahwa anggota-anggota kelompok merasa saling memiliki sehingga mereka juga merasa bahwa di antara mereka merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan (single unit entity). Perasaan seperti ini muncul karena para anggota kelompok umumnya membentuk mental bersama. Oleh Hofstede pembentukan mental bersama ini disebut “collective mental programming[1] yang tujuannya untuk menandai bahwa mereka memiliki keyakinan, identitas, dan sikap yang sama yang kesemuanya itu bersumber pada norma kelompok (group norm) yang mereka bangun bersama.
Penjelasan di atas sejalan dengan pengertian kelompok yang yang dikemukakan oleh D. Horton Smith sebagaimana dikutip oleh Kreitner and Kinicki mengatakan bahwa kelompok adalah dua orang atau lebih yang saling berinteraksi secara bebas dan saling berbagi norma dan tujuan bersama serta memiliki identitas diri. Definisi kedua ini menegaskan bahwa ketika dua orang atau lebih membangun suatu ikatan sosial (social entity) sehingga mereka bisa saling berinteraksi dan di antara mereka terjadi saling kebergantungan maka saat itulah mulai terbentuk sebuah kelompok. Namun, hanya saling berinteraksi dan saling bergantung belum cukup untuk mengatakan dua orang atau lebih sebagai kelompok jika di antara mereka tidak memiliki norma kelompok, tujuan bersama, dan identitas diri. Oleh karena itu, secara lengkap unsur-unsur pembentuk kelompok adalah:
1. sekumpulan orang (minimal dua orang);
2. saling berinteraksi dan saling bergantung;
3. memiliki norma kelompok;
4. memiliki tujuan bersama;
5. memiliki identitas diri (collective identity).

Tipe Kelompok
Seperti telah dijelaskan pada uraian sebelumnya, kelompok pada dasarnya adalah sekumpulan orang yang memiliki karakteristik tertentu. Dalam konteks organisasi, sebuah kelompok kadang-kadang sengaja dibentuk oleh otoritas pengelola organisasi atau otomatis terbentuk karena aturan-aturan yang berlaku di dalam organisasi. Kelompok seperti ini disebut sebagai kelompok formal (formal group). Di samping itu, sebuah kelompok kadang-kadang dibentuk bukan karena dorongan pihak manajemen atau mengikuti aturan formal organisasi, tetapi berdasarkan inisiatif para karyawan sesuai dengan kepentingan mereka. Oleh karena dibentuk di luar alur formal organisasi maka kelompok seperti ini disebut kelompok informal (informal group). Kedua tipe kelompok ini dan derivasi masing-masing tipe.
  
kelompok dibedakan menjadi kelompok formal dan informal. Maksud dari kelompok formal adalah kelompok yang sengaja dibentuk oleh organisasi, baik melalui aturan yang dibuat oleh pengelola organisasi maupun karena hierarki organisasi, sebagai bagian untuk membantu organisasi mencapai tujuan-tujuannya. Hal ini bisa diartikan bahwa eksistensi kelompok formal akan berjalan seiring dengan eksistensi organisasi. Oleh karenanya secara formal, kelompok bisa dibedakan menjadi dua tipe, yaitu Kelompok Komando (Command Group) dan Kelompok Tugas (Task Group). Kelompok yang dibentuk mengikuti alur hierarki organisasi disebut command group. Dengan demikian, anggota-anggota command group terdiri dari supersivor dan anak buahnya yang secara hierarkis melaporkan semua aktivitasnya kepada supervisor sebagai atasan. Departemen SDM yang terdiri dari Kepala Departemen dan anak buahnya adalah salah satu contoh command group.
Tipe kedua adalah Kelompok Tugas (Task group). Sesuai dengan namanya kelompok ini sengaja dibentuk secara formal bertujuan untuk mengerjakan tugas-tugas tertentu di mana anggota-anggotanya terdiri dari orang-orang yang berasal dari departemen berbeda.
Kelompok informal adalah sebuah kelompok yang dibentuk atas inisiatif karyawan, bukan atas gagasan formal organisasi. Alasan dibentuknya kelompok informal karena di antara mereka memiliki perhatian yang sama atau kepentingan yang sama di mana kepentingan tersebut biasanya tidak tertampung di dalam struktur formal organisasi. Dua tipe kelompok yang bisa dikategorikan sebagai kelompok informal adalah Kelompok Pertemanan (Friendship Group) dan Kelompok Kepentingan (Interest Group). Individu-individu yang berasal dari departemen berbeda boleh jadi memiliki perhatian yang sama terhadap kehidupan sosial mereka. Orang-orang yang memiliki keyakinan agama yang sama, menganut politik yang sama atau berasal dari lulusan perguruan tinggi yang sama boleh jadi memiliki perasaan sosial yang sama sehingga tidak jarang di antara mereka membentuk kelompok yang disebut friendship group. Kelompok informal yang dibentuk oleh orang-orang dari departemen berbeda atau bahkan dari organisasi berbeda, tetapi memiliki kepentingan yang sama, misalnya untuk menyelesaikan persoalan polusi udara, untuk memprotes kenaikan BBM atau untuk membahas kenakalan remaja bisa disebut sebagai Kelompok Kepentingan (interest group). Keanggotaan interest group tentunya bersifat sukarela.
Meski kelompok informal dibentuk tidak atas dorongan resmi pihak manajemen, tetapi keberadaannya merupakan bagian penting bagi kehidupan formal organisasi. Sebagaimana dijelaskan pada Modul 2 tentang sikap kerja, seseorang bekerja bukan semata-mata demi memperoleh penghasilan, tetapi ada alasan-alasan di luar itu, khususnya untuk memenuhi kebutuhan sosial mereka. Kadang-kadang kebutuhan sosial tersebut hanya bisa dipenuhi jika ia bergabung dengan kelompok informal. Oleh karena itu, terlepas bahwa kelompok informal berada di luar jalur resmi organisasi, pihak manajemen perlu memberi perhatian yang seimbang karena bukan tidak mungkin tujuan-tujuan organisasi bisa lebih mudah dicapai melalui pintu masuk jalur informal tersebut.

 
Alasan Seseorang bergabung dengan Kelompok
Beberapa alasan mengapa seseorang mau bergabung dengan kelompok adalah sebagai berikut.
1.      Mempermudah Mencapai Tujuan
2.      Sekadar Berafiliasi
3.      Memperoleh Dukungan Emosional
4.      Memperoleh Status Sosial
5.      Alasan Keamanan
6.      Faktor Kedekatan

Hubungan Antara Perilaku Kelompok dengan Kinerja dan Kepuasan Kerja
Sebagaimana kita ketahui, kelompok merupakan subsistem dari sistem yang lebih besar. Sederhananya, kelompok merupakan bagian integral dari sebuah organisasi sehingga dalam batas-batas tertentu perilaku dan kinerja kelompok tidak hanya ditentukan oleh kelompoknya itu sendiri melainkan dipengaruhi juga oleh faktor-faktor lain yang melingkupi kelompok tersebut. Sebagai contoh, keberadaan sebuah kelompok dan bagaimana kinerja kelompok tersebut tentunya tidak bisa lepas dari strategi organisasi dan faktor-faktor lain yang berada di luar kelompok, tetapi pengaruhnya cukup signifikan terhadap kelompok, seperti aturan-aturan organisasi, budaya organisasi, dan struktur organisasi. Secara umum, bisa dikatakan bahwa kinerja kelompok ditentukan oleh faktor eksternal dan faktor internal. Untuk memperoleh gambaran secara lengkap tentang faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku kelompok dan kinerjanya, kita dapat merujuk pada model perilaku kelompok yang dibangun oleh Robbins s.
Model Perilaku Kelompok
kinerja dan kepuasan kerja kelompok dipengaruhi oleh berbagai macam faktor. Pertama, faktor eksternal, yaitu semua faktor yang berasal dari luar kelompok, khususnya yang bersumber pada organisasi, namun memberi pengaruh kuat terhadap kehidupan kelompok. Termasuk dalam faktor eksternal adalah strategi organisasi; struktur organisasi; aturan formal organisasi; sumber daya organisasi; sistem rekrutmen karyawan; evaluasi kinerja dan sistem imbalan; budaya organisasi dan lingkungan tempat kerja. Bagi sebuah kelompok, pengaruh faktor eksternal merupakan konsekuensi logis yang tidak bisa dihindarkan karena kelompok itu sendiri merupakan bagian integral dari organisasi. Faktor eksternal akan memberi dua kemungkinan pengaruh, yaitu memberi peluang bagi kelompok untuk berkinerja lebih baik atau sebaliknya membatasi kelompok. Sebagai contoh, budaya organisasi sering dianggap sebagai tali pengingat antarkaryawan dalam organisasi tanpa melihat kedudukan karyawan atau dari bagian mana mereka berasal. Ujud nyata dari budaya organisasi adalah nilai-nilai organisasi yang menjadi pedoman untuk bertindak dan berperilaku. Meski demikian tidak jarang sebuah kelompok memiliki budaya kerja tersendiri yang tidak sama, kalau tidak dikatakan bertolak belakang dengan budaya organisasinya. Jika terjadi hal demikian maka bisa dipastikan bahwa budaya organisasi menjadi faktor pengganggu bagi kinerja kelompok.
Selain faktor eksternal, kinerja dan kepuasan kerja kelompok dipengaruhi juga oleh faktor internal, yaitu semua faktor yang bersumber dari dalam kelompok. Faktor-faktor tersebut adalah sumber daya kelompok; struktur kelompok, proses aktivitas yang berjalan di dalam kelompok dan tugas yang diemban kelompok.

Dampak Kelompok terhadap Perilaku Individu
Pengaruh kelompok terhadap perilaku dan kinerja individu bisa terjadi dalam tiga bentuk, yaitu social facilitation effect, social loafting, dan deindividuation.

1.      Social Facilitation
Bidang studi psikologi sosial sejak mula telah mendeteksi bahwa seseorang akan memiliki kinerja lebih baik jika ia menjadi bagian dari kelompok daripada jika bekerja sendirian. Sebagai contoh, pelari jarak pendek tercepat di dunia Usai Bolt dari Jamaica dengan catatan waktu kurang dari 9,72 detik, boleh jadi dia tidak akan bisa mencapainya jika dalam berlari tidak ada lawan tanding. Dengan lawan tanding seolah-olah Bolt mempunyai energi tambahan untuk berlari lebih cepat. Demikian juga dalam kehidupan kelompok. Ketika seseorang melakukan pekerjaan yang tidak terlalu sulit yang sudah dipahami dan sebelumnya telah dikuasai dengan baik, seperti melakukan penjumlahan, kinerjanya akan lebih baik jika dalam melakukan pekerjaan tersebut didampingi rekan kerja walaupun keberadaan rekan kerja tersebut tidak memberi bantuan apa-apa. Proses bertambah baiknya kinerja seperti ini disebut social facilitation effect – efek dukungan sosial. Meski demikian kehadiran orang lain selama seseorang melakukan aktivitas, tidak selamanya berdampak positif seperti dicontohkan di atas, tetapi juga bisa berdampak negatif. Jika aktivitas yang dilakukan seseorang sebelumnya telah dikuasai dengan baik maka kehadiran orang lain akan berdampak positif. Penyebabnya karena kehadiran mereka akan memberi motivasi untuk bekerja lebih baik agar dirinya tampak sebagai pekerja yang baik. Proses ini disebut evaluation apprehension. Sebaliknya, apabila aktivitas yang dilakukan seseorang masih relatif baru seperti tugas-tugas yang belum dikuasai dengan baik maka kehadiran orang lain justru akan menurunkan kinerja orang tersebut. Proses ini disebut social inhibition effect. Berdasarkan uraian dan contoh-contoh ini bisa disimpulkan bahwa manakala seseorang sedang melakukan tugas baru yang sangat kompleks dan belum dikuasai sepenuhnya sebaiknya dilakukan tanpa kehadiran orang lain. Sebaliknya, apabila ia melakukan pekerjaan yang sudah sangat dikuasainya, kehadiran orang lain justru memfasilitasinya untuk bekerja lebih baik.

2.      Social Loafting
Selain berdampak positif seperti dijelaskan pada social facilitation effect, eksistensi kelompok terhadap kinerja dan perilaku individual juga bisa berdampak negatif. Seseorang yang bekerja sebagai bagian dari kelompok kadang-kadang enggan untuk mengeluarkan semua kemampuan atau kapabilitas yang dimilikinya untuk membantu menyelesaikan pekerjaan kelompok. Keengganan seperti ini disebut social loafting. Jadi, bisa dikatakan bahwa social loafting merupakan kebalikan dari social facilitation effect. Banyak alasan yang menyebabkan terjadinya social loafting, di antaranya merasa sudah ada orang lain yang mengerjakannya, merasa kontribusinya tidak akan banyak berpengaruh terhadap kinerja kelompok, merasa kontribusinya tidak akan dihargai, merasa kemerdekaan individunya hilang atau merasa tidak akan dihukum jika kinerjanya buruk. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa terjadinya social loafting bukan karena menurunnya kemampuan individu, tetapi lebih disebabkan karena menurunnya motivasi kerja individu.

3.      Deindividuation
Implikasi lain dari eksistensi kelompok terhadap perilaku individu adalah terjadinya deindividuation. Maksud dari deindividuation adalah proses hilangnya jati diri atau kepribadian seseorang ketika dirinya bergabung dengan sebuah kelompok. Ketika seseorang kehilangan jati dirinya karena bergabung dengan kelompok, ia bisa melakukan tindakan-tindakan yang tidak mungkin dilakukannya jika yang bersangkutan sendirian. Kasus seperti ini akhir-akhir ini banyak terjadi di Indonesia. Beberapa pertandingan sepak bola di tanah air, misalnya banyak diwarnai kerusuhan yang dilakukan oleh para supporter khususnya ketika klub yang dijagokannya mengalami kekalahan. Supporter yang melakukan kerusuhan tersebut boleh jadi secara individual mempunyai kepribadian yang baik, namun ketika bergabung dengan kelompok terjadilah apa yang disebut collective mind (cara berpikir kolektif) yang bersifat tidak rasional. Penyebab tindakan tidak rasional semacam ini disebabkan karena (a) secara individual tidak orang yang tahu siapa dirinya dan dia menjadi bukan siapa-siapa karena telah kehilangan tanggung jawab pribadinya, (b) pengaruh buruk kelompok menyebabkan seseorang bisa bertindak secara berbeda dan berupaya melakukan tindakan seperti yang dilakukan anggota kelompok lain, serta (c) dalam sebuah kelompok, seseorang biasanya tersugesti untuk melakukan tindakan seperti yang dilakukan orang lain ketika dirinya merasa mendapat tekanan dari anggota kelompok lainnya.
Meski deindividuation pada umumnya bisa menciptakan perilaku yang tidak dikehendaki, sesungguhnya deindividuation juga bisa menciptakan perilaku yang positif. Banyak aktivitas yang bertujuan mulia, tetapi sering kali tidak bisa dilakukan sendirian. Aktivitas seperti ini justru bisa dilakukan hanya jika seseorang menjadi bagian dari sebuah kelompok. Lembaga-lembaga sosial, lembaga keagamaan atau sekolah sering kali bisa mengubah perilaku seseorang yang kehilangan jati dirinya untuk bersama-sama berpartisipasi dalam meningkatkan kehidupan mereka dan anggota masyarakat yang lain. Artinya, meski deindividuation sering kali bersifat destruktif, tetapi tidak selamanya demikian.





No comments:

Post a Comment